Di dapur terlihat ibunda Tito sedang menanak nasi di tungku, sementara ayahnya masih duduk di depan tungku sambil menghangatkan badan.
"Yah, kasihan tuh si Tito mbok ya diusahakan,” terdengar suara Ibunda Tito sedang berbincang dengan suaminya.
"Ya mau bagaimana lagi toh bu, ayah juga sudah berusaha kesana kemari tapi tetep ndak ada,”
"Terus gimana yah, kasihan Tito,”
"Iya, ayah juga ndak tahu, kalau hanya uang sebesar itu kita biasanya juga ndak masalah, tapi kok saat ini, dimana Tito sedang benar-benar membutuhkan, rasanya semua pintu tertutup ya bu?”
"Iya ya yah, masa Tito harus berhenti sekolah yah, dia kan anaknya pandai,”
"Tuh seharian dia keliatan murung terus,”
"Ya sudah biarin saja, nanti juga dia kembali ceria. Ayah yakin kok Tito pasti akan mau memahami keadaan kita,” sahut ayah sambil sesekali menyeruput teh pahit bikinan istrinya.
"Tito itu kan anaknya baik, dia selalu cukup mengerti tentang keadaan kita, mana pernah dia melawan kita kalau sedang dimarahi, iya toh bu ?” Dan ibu Tito hanya mengangguk pelan.
Sementara disamping rumah, Tito masih terlihat diam seribu bahasa. Tangannya terlihat sedang bermain-main dengan tanah, "uuugh….,” Tito terdengar menghela nafas panjang. "Kalau tahu akan begini, mending waktu kemarin bude ngajakin ke Jakarta, Tito ikut aja,” gumamnya lirih.
Beberapa waktu yang lalu memang budenya Tito, kirim surat bahwa di kantor tempat ia bekerja sedang membutuhkan karyawan.
Tanpa dikomando kejadian beberapa hari yang lalu langsung melintas di dalam pikiran Tito, waktu itu ia sedang berada di kebun.
"Tiiiittt……,” tiba-tiba terdengar ada orang memanggil namaku, pikir Tito. Saat itu sedang berada di kebun, rencananya dia mau nebang beberapa pohon bamboo untuk bikin kandang burung, tiba-tiba muncul di depanku.
"Yee dipanggilin dari tadi kok ndak nyahut ?”
"Lagian tinggal kesini aja teriak-teriak, kakak kan sudah tahu kalau saya lagi nebang bambu, brarti ya arahnya kesini,” sahut Tito sedikit kesal, rupanya ia sedang kesulitan narik bambu yang barusan ditebang, makanya jadi sedikit judes.
"Lagian mau ngapain sih kakak nyusul Tito ?”
"Ini, tadi bude dari Jakarta kirim surat, katanya sih dikantor tempat bude kerja lagi butuh karyawan, minimal lulus SMP. Dan bude bilang dia ingat sama kamu kalau tahun ini sudah lulus,”
"Gak ah, gak mau, lagian mau kerja apaan wong cuma lulus SMP,” sahut Tito makin bertambah kesal sambil tangannya terus mencoba menarik bambu yang terjepit di rerumpunan.
"Lagian Tito juga kan masih mau sekolah kak, sudah suruh cari yang lain aja yang mau”
"Ya sudah, wong kakak cuma disuruh ayah, suruh bilangin Tito kok, dan kalau kamu mau nanti sore langsung berangkat,” lanjutnya tanpa peduli kalau Tito lagi kesal.
"Brisik ah kak, sudah pergi sana !” sahut Tito semakin sewot.
*******
Sejak kejadian itu tanpa terasa sudah hampir satu bulan, Tito terpaksa tidak bisa melanjutkan sekolahnya lagi. Hari-harinya ia lalui dengan membantu ayahnya. Seperti hari itu, Tito disuruh ayah nengokin padi di sawah takut dimakanin burung. Dan seperti biasa dia langsung tertuju pada saung, tempat dimana dia berteduh kalau pas ke sawah. Diraihnya tali penarik orang-orangan, perlahan ia mulai menarik talinya sambil sesekali berteriak.
Tiba-tiba ia ingat budenya di Jakarta, dalam pikirannya ia berharap
kalau budenya kirim surat lagi dan mengajaknya ke Jakarta. Kembali rasa
sedih menari-nari di dalam lubuk hatinya, perlahan irama tarikan tali
mulai pelan, matanya kelihatan berkaca-kaca dan sebutir air bening ia
biarkan jatuh menetes membasahi pipinya.
Tito mencoba menahan semua rasa sedih dan juga kecewa seorang diri, ia tidak mau kalau perasaan-perasaannya yang seperti itu sampai diketahui orang tuanya atau saudara-saudaranya, ia tidak mau ayah dan ibunya jadi sedih karena merasa bersalah.
"Tito, maafkan ayah ya, gara-gara ayah gak punya uang, Tito jadi gak bisa nerusin sekolah,” kata ayah di suatu sore, saat Tito menemani ayah nunggu padi disawah.
"Sudahlah Yah, Tito gak apa-apa kok, lagian Tito juga sebetulnya gak mau sekolah di STM,”
Matahari tlah bergulir ke ufuk barat, sinarnya sudah mulai memerah pertanda bahwa sebentar lagi dia akan pergi keperaduannya untuk istirahat. Tito dan ayahnya juga sudah bersiap-siap untuk pulang.
"Tit, tuh diatas meja ada surat dari bude !” ibuku langsung menyambut dengan sebuah berita. Tito langsung saja menyambar surat itu, kemudian dengan perasaan yang campur aduk antara senang dan sedih perlahan ia buka surat itu, dengan cermat ia membacanya. Dalam surat itu bude bilang kalau dikantornya sedang membutuhkan karyawan lagi, kalau Tito mau sore ini atau besok Tito bisa langsung berangkat.
"Yah, bu besok sore Tito mau ke Jakarta nyusul bude, kebetulan ada temen bude yang pulang, jadi Tito sekalian ikut” kata Djitto kepada orang tuanya, setelah ia selesai membaca surat itu. Walau tidak membaca suratnya, tapi orang tua Tito sudah bisa menebak isinya dan juga keinginan Tito.
"O ya sudah kalau memang itu sudah jadi keputusanmu,” sahut ayah Tito sambil memberikan wejangan yang banyak banget. Maklumlah baru kali ini Tito mau pergi jauh.
Tito mencoba menahan semua rasa sedih dan juga kecewa seorang diri, ia tidak mau kalau perasaan-perasaannya yang seperti itu sampai diketahui orang tuanya atau saudara-saudaranya, ia tidak mau ayah dan ibunya jadi sedih karena merasa bersalah.
"Tito, maafkan ayah ya, gara-gara ayah gak punya uang, Tito jadi gak bisa nerusin sekolah,” kata ayah di suatu sore, saat Tito menemani ayah nunggu padi disawah.
"Sudahlah Yah, Tito gak apa-apa kok, lagian Tito juga sebetulnya gak mau sekolah di STM,”
Matahari tlah bergulir ke ufuk barat, sinarnya sudah mulai memerah pertanda bahwa sebentar lagi dia akan pergi keperaduannya untuk istirahat. Tito dan ayahnya juga sudah bersiap-siap untuk pulang.
"Tit, tuh diatas meja ada surat dari bude !” ibuku langsung menyambut dengan sebuah berita. Tito langsung saja menyambar surat itu, kemudian dengan perasaan yang campur aduk antara senang dan sedih perlahan ia buka surat itu, dengan cermat ia membacanya. Dalam surat itu bude bilang kalau dikantornya sedang membutuhkan karyawan lagi, kalau Tito mau sore ini atau besok Tito bisa langsung berangkat.
"Yah, bu besok sore Tito mau ke Jakarta nyusul bude, kebetulan ada temen bude yang pulang, jadi Tito sekalian ikut” kata Djitto kepada orang tuanya, setelah ia selesai membaca surat itu. Walau tidak membaca suratnya, tapi orang tua Tito sudah bisa menebak isinya dan juga keinginan Tito.
"O ya sudah kalau memang itu sudah jadi keputusanmu,” sahut ayah Tito sambil memberikan wejangan yang banyak banget. Maklumlah baru kali ini Tito mau pergi jauh.
*********
Pada keesokan harinya, Tito pun berangkat ke Jakarta menuju ke tempat budenya. Ada perasaan senang, sedih, bingung dan lain sebagainya bercampur jadi satu. Dan dari raut muka kedua orang tua Tito juga tersirat rasa sedih juga rasa bersalah yang sangat mendalam. Tepat pukul 17.00 WIB bus berlalu membawa Tito pergi jauh dari orang tua dan keluarganya. Dengan mata berkaca-kaca ayah Tito melambaikan tangannya merelakan anak lelakinya pergi……”selamat jalan ya nak, doa kami menyertaimu,” gumam ayah dengan bibir bergetar menahan kesedihan.
"Ayah, Ibu, Kakak dan adikku, maafkan kesalahan Tito selama ini ya, Tito yang kadang nakal dan bikin kalian kesal, do'ain Tito ya semoga apa yang menjadi cita-cita Tito bisa kesampaian suatu saat kelak, Selamat Tinggal dan Selamat Datang Cita-cita,” ucapnya lirih dari dalam bus sana, satu butir, dua butir air matanya mulai berjatuhan membasahi pipinya. Dan bus itu pun terus melaju ditelan malam yang semakin gelap……….
Sumber : http://cerpen.net/cerpen-remaja/html.
0 komentar:
Post a Comment