Cerpen: Mengejar Cinta Dan Cita-Cita

Siang yang gagah menjulang ke atas horizon. Sebuah pertanda ketegasan mentari siang itu. Putra percepat jalannya yang sedari tadi lamban. Ia merasakan bahwa waktu begitu cepatnya berlari. Ia tak kan mampu kembali meski ada kantong ajaib Doraemon. Upayanya mengejar cita dan cinta seperti mendapatkan bentangan hambatan yang tak terkira. Kini ia berdiri di sebuah persimpangan jalan kehidupan, sebuah persimpangan jalan yang harus ia pilih. Akankah gerak kakinya ke kanan, ke kiri, atau terus ayunkan ke depan.
Meski ia sudah mengantongi gelar sarjana sosial dari sebuah sekolah tinggi di kotanya, sebuah keironian menimpanya. Status sebagai seorang sarjana tak mendapatkan harga pasti untuk bekerja yang  sesuai dengan jurusannya. Di negeri ini banyak sarjana yang nota-bene terpaksa bertolak belakang dari disiplin ilmunya semasa di perkulihan.
Putra tak menyangka bahwa akhirnya gelar itu bukannya membuat kehidupannya mulus, justru membuat ia gentar menyandangnya. Ia malu. Karena pekerjaan yang ia idamkan tak kunjung tiba di genggamannya. Berbagai lakon kerja ia lakukan. Pernah ia sebagai tukang parkir, tukang sapu, pekerja kasar pada sebuah pabrik, dan tentu saja menjadi seorang pengangguran.
Nasib cintanya juga senada. Cintanya mengembara ke Jakarta, bersama cinta lain yang lebih menjanjikan secara materi. Penghidupan layak menanti cintanya. Berusaha ia mencari info dari teman-temannya, jejaring sosial, dan berbagai sumber lain. Begitu mendapatkan infonya, kembali lagi ia kehilangan kontak.Ia sangat ingin sekali mengejar cinta dan citanya yang dulu pernah membuat hari-harinya indah dan penuh determinasi. Sayang sekarang sudah mulai menyurut.
Wajah manisnya saban hari menghiasi harinya, hampir setiap detik. Saat bangun, beraktivitas, akan tidur hingga di dalam lelapnya tidur. Ia merasa menjadi laki-laki impoten yang bukan idaman perempuan manapun.
Cinta dan citanya seakan terampas, tapi apa daya, Tuhan belum menyentuh harinya yang gelap menjadi terang.
********
“Kring…kring…kring…..,” sebuah nada dari ponsel Putra memanggil. Kali ini senyuman tampak dari bibirnya. Ternyata itu merupakan panggilan dari sebuah perusahaan telekomunikasi. Wawancara!
Pagi ini, tepat pukul sembilan ia harus segera berada di TKP. Waktu benar-benar sangat sempit. Medan, seperti biasanya sama halnya di Jakarta, macat. Karena Putra laki-laki yang lebih dari on-time, hal itu tak membuatnya galau dan terburu-buru. Pukul 7 lewat ia mulai memacu kendaraannya, sebuah kereta kata orang Medan, sepeda motor kata dalam kamus Bahasa Indonesia.
Baru dua kilo perjalanan bannya bocor. Ia kesal dan marah serta mengerutu. Ia berteriak dan mengumpat pada Tuhan. Dengan omelan yang penuh di mulutnya, akhirnya setelah dua puluh menit berjalan mencari tempat tambal ban, ia menumkannya.
***
Pukul 08.15!
Waktu semakin sempit. Keringat ia seka dari wajah kesalnya. Perlahan emosinya mulai redup dan kembali tentram. Ia berdoa dan menunggu giliran.
“Akan gimana hasilnya nanti…..,” begitu kata hatinya.
Wawancara pun dimulai. Semua pertanyaan ia lahap secara baik, setidaknya menurutnya. Kini wawancara singkat tuntas. Tinggal menunggu tahap selanjutnya siang ini dan menuju pengumuman.
Tahapan kedua pun dimulai. Saatnya ujian tertulis. Debar hatinya mulai berdetak kuat. Pompaan darahnya melaju deras. Cemas!
Hasilnya, namanya tercatut di dalam daftar calon karyawan yang lulus, ia berada di urutan dua dari sepuluh yang lulus. Alangkah senangnya dia. Penantiannya terjawab. Sekarang karirnya sudah memasuki masa awal. Bekerja sebagai staf humas di perusahaan telekomunikasi menjadi akar menuju suksesnya.
“Cinta dan cita, akan kujemput kau di sana,” ucapnya tersenyum.

0 komentar:

Post a Comment