Ini cerita tentang seorang perempuan yang terjatuh.
***
Aku melihat perempuan itu berjalan terburu-buru dengan langkah-langkah yang lelah. Rambutnya tak bercahaya, lebih terlihat tak terururs dan bercabang. Wajahnya tidak gembira, tentu saja: Ada sesuatu yang dia sembunyikan di dalam dirinya—menjadi beban bagi hatinya.
“Kejar mimpimu!” Suara itu, seperti berasal dari segala penjuru, membuatnya berjalan lebih cepat lagi. Tapi kakinya yang mungil semakin lelah dihajar angin yang membuat sekujur tubuhnya menggigil. Dan ketika kaki kirinya tersandung sesuatu yang membuatnya terjerembab, sekedipan mata dia segera bangkit lagi: Memaksa dirinya berusaha lebih keras lagi. “Seribu kali jatuh, seribu kali bangkit!” Teriaknya.
Aku melihat perempuan itu ingin menangis, tapi ia tahan sekuat tenaga. Dia tahan sekuat tenaga. Kemudian dia kembangkan lagi dadanya, dia paksakan senyumnya. “Aku bisa! Aku bisa! Aku bisa!” Gumamnya. Mengulang-ulang semacam mantra yang ia kira akan membuat semuanya baik-baik saja.
Maka ketika ia mulai meniti sebuah tangga dengan terburu-buru, perempuan itu terjatuh. Ternyata mantranya tak bisa menolak gravitasi bumi!
Aku menarik napas, sebenarnya ingin segera menolongnya, tetapi sesuatu yang tak bisa kuceritakan di sini membuatku tak bisa melakukannya. Beberapa langkah dari tempatnya terjatuh, aku berdiri dan mendoakannya semoga baik-baik saja.
Perempuan itu, entah siapa namanya, dengan tubuh gemetar tergeletak malang di kaki tangga. “Aku bisa! Aku bisa! Aku bisa!” Katanya dalam suara parau dan tangan gemetar. “Aku bisa! Aku bisa! Aku bisa!” Aku melihat matanya yang penuh impian, menghitung angka di langit-langin imajinasinya. Aku melihat wajahnya yang lelah, menghantui hari-hari dan menghabiskan doa-doanya. “Aku bisa! Aku bisa! Aku bisa!” Perempuan itu masih mengulang-ulang mantranya, jadi terdengar menyedihkan.
Perempuan itu akhirnya menangis. Dia menutupi wajahnya dengan kedua tangannya. “Kejar mimpimu!” Katanya di sela-sela tangisnya. “Seribu kali jatuh, seribu kali bangkit!” Dia mencoba mantra lainnya. “Kamu bisa! Kamu bisa! Kamu bisa!” Dia terus memaksa dirinya.
Aku mendekatinya, akhirnya. Perlahan aku mulai duduk di sampingnya. Perempuan itu terus menangis.
“Kamu akan sembuh,” aku mulai memberanikan diri untuk mengajaknya bicara, “Tapi sekarang, jangan paksa dirimu untuk berdiri. Kamu akan sembuh.”
Perempuan itu terus menutupi wajahnya dengan kedua tangannya. Bahunya berguncang. “Aku bisa! Aku bisa! Aku bisa!” Dia terus mengulang-ulang mantranya.
“Kau dengar suara musik yang lembut mengalun dari kejauhan?” Tanyaku.
Perempuan itu berhenti menangis dan menajamkan pendengarannya. Beberapa detik kemudian, dia menatap asing ke arahku. “Aku tak mendengarnya,” responsnya.
“Dengarkan lagi. Dengarkan.” Aku memintanya mencoba sekali lagi.
Sebelah alisnya terangkat. Dia mencoba mencari sumber suara dan berusaha mendengarkan musik lembut yang kumaksud. “Dari mana datangnya suara itu? Aku tak mendengar apa-apa!”
“Coba lagi. Dengarkan musiknya.” Kataku.
Beberapa detik kemudian, perempuan itu tersenyum. Ia menutup matanya dan mulai mengangguk-anggukkan kepalanya mengikuti musik yang kini beresonansi di kepalanya.
“Kau sudah mendengarnya?” Tanyaku.
Ia mengangguk lembut, masih dengan kedua mata terpejam. Tiba-tiba airmata meluncur lembut di kedua tebing pipinya. “Aku mendengarnya. Indah sekali.” Jawabnya, “Tapi suara ini tidak datang dari kejauhan, kan?”
Aku tersenyum.
“Suara itu datang dari sini,” dia menyentuh dadanya sendiri, “Suara itu dekat sekali, dari dalam diriku sendiri,” ujar perempuan itu.
“Ya, selama ini kamu jauh dengan dirimu sendiri, kan?” Jawabku.
Perempuan itu tersenyum tetapi terus menangis. “Aku sedang mengejar masa depan. Aku harus mengejar mimpi-mimpiku! Aku bisa! Aku bisa! Aku bisa! Seribu kali jatuh, seribu kali bangkit!” Jawabnya penuh semangat.
“Aku mengerti,” jawabku, “Tapi kamu juga perlu mengerti dirimu sendiri: Kakimu tak terbuat dari besi dan kamu tak bisa melawan gravitasi bumi. Jika lelah, mengapa terus berlari? Jika terjatuh, kamu akan sembuh, tapi jangan paksa dirimu untuk segera berdiri. Masa depan mungkin menjanjikan banyak kebahagiaan, tetapi kamu juga perlu mewarnai masa kini dengan senyum dan tawa yang nyata.”
Perempuan itu terdiam beberapa saat. “Kini aku mendengar musik yang begitu indah dari dalam diriku sendiri.” Katanya kemudian.
“Tidak semua jalan harus kita tempuh dengan berlari. Mungkin kita harus berhenti—atau dipaksa berhenti. Terjatuh adalah momen saat kita bisa mendengarkan musik yang mengalun dari dalam diri kita sendiri—mengajak kita menari.”
Perempuan itu tersenyum. Dia belum bisa bangkit dari jatuhnya kali ini. Tidak apa-apa. Dia akan sembuh dan baik-baik saja. Kini aku melihat napasnya yang jadi lebih tenang, wajahnya yang jadi bercahaya.
***
Aku senang jika cerita ini membuatmu bicara pada dirimu sendiri. Aku senang jika kamu akhirnya mulai mendengarkan perempuan itu, setelah sekian lama musik dalam dirinya tak kamu hiraukan.
Ya, mungkin ini cerita tentang kamu. Tentang perempuan yang berlari dan terjatuh dalam hidup kita masing-masing.
Allâhumma lâ sahla illâ mâ ja’altahu sahlâ wa Anta taj’alul hazna idza syi’ta sahlâ. Tuhan, tiada kemudahan kecuali apa-apa yang telah Engkau jadikan mudah. Dan apabila Engkau berkehendak, betapa mudah bagimu untuk mengubah segala kesulitan menjadi kemudahan.
Sumber: http://www.fahdisme.com/2013/05/terjatuh.html
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 komentar:
Post a Comment