Bersalah
Apa yang mustahil tak dimiliki semua manusia? Barangkali rasa bersalah.
Manusia berjalan dengan rasa bersalahnya masing-masing. Tak tertolak. Demikianlah, barangkali rasa bersalah telah menjadi semacam gen bawaan yang tertanam dalam diri setiap manusia. Kita tahu, Tuhan menciptakan manusia melalui satu episode yang akan membuatnya merasa bersalah sepanjang sejarah. Adam yang dibela, dianakemaskan, pada akhirnya harus mengecewakan Tuhan dengan mendekati pohon dan menggigit buah terlarang, bukan? Dari sana, fragmen selanjutnya dari kisah hidup manusia adalah tentang rasa bersalah: Hawa yang merasa bersalah pada kekasihnya, Adam yang merasa bersalah pada Tuhan. Lalu mereka berdua diturunkan ke “dunia”—alam rendah tempat manusia menebus rasa bersalahnya.
Aku membayangkan perasaan Adam yang hancur ketika kakinya pertama kali menginjak bumi. Rasa bersalah menguasai hatinya. Maka ia merangkai ‘kalimat takwa’ di atas puing-puing rasa yang di kemudian hari kita sebut sebagai dosa. Hawa, ibu semua manusia, barang tentu memendam perasaan yang sama. Dikisahkan, konon Hawa menangis sepanjang perjalanan sambil mengeja kalimat takwa dan memanggil-manggil nama Adam setelah nama Tuhan. Hingga pada saatnya mereka bertemu di Gunung Cahaya, Jabal Nur, dan merayakan cinta di atas rasa bersalah mereka berdua. Aku membayangkan tangis mereka yang indah, berdua saling memeluk dengan dada bergemuruh, bibir mereka syahdu mengucap takbir dan dzikir; betapa mitis sekaligus puitis. Maka Tuhan memaafkan mereka.
Dari kisah itu, sebenarnya Tuhan tengah memberi tahu kita bahwa tak ada yang salah dengan rasa bersalah. Bahkan boleh jadi rasa bersalahlah yang membuat semua kerja penebusan dosa menemukan signifikansinya. Rasa bersalahlah yang membuat kata “maaf”, dengan segala imbuhan yang mungkin dikenakan kepadanya, selalu menghadirkan momen paling indah dalam semua kisah.
Apa yang mungkin tak dimiliki semua manusia? Barangkali pengakuan tentang rasa bersalah.
Pagi ini, rasa bersalah menguasai hati dan pikiranku. Kilas-balik dari semua dosa, luka, dan aniaya berlesatan dari dalam pikiran dan perasaanku. Maka maafkan aku: Untuk apapun, untuk siapapun. Untuk hal-hal yang terkatakan dan yang tak terkatakan. Maafkan aku sebab aku tak punya pilihan lainnya.
Dan aku sudah memaafkanmu, bagaimanapun, jauh sebelum kau memintanya. Semua yang salih memiliki masa lalu dan semua pendosa memiliki masa depan*. Di atas semuanya, semoga Tuhan mengampuni kita semua, untuk rasa bersalah apapun yang pernah ada di dalam dada.
(sumber: http://www.fahdisme.com)
0 komentar:
Post a Comment