Kendali




Udara panas mengambang di ruangan empat meter persegi ketika aku menutup telepon darimu; Percakapan yang baru saja kita akhiri tanpa solusi, memanaskan telingaku, mendidihkan pikiran dan perasaanku. Tapi aku tak bisa marah: Semua yang membuat kita kecewa, tak berada dalam kendali kita berdua. Maka kita hanya bisa menerimanya dengan perasaan janggal yang mengganjal. 

Golongan darahku A. Aku selalu berusaha menguapkan rasa kesal dan amarah di dalam tubuhku sendiri; Jadi nyeri lambung yang mengirimkan pening ke kepalaku. Ketika sendirian, aku terus memikirkan semuanya dengan dahi berkerut. Aku menekuri kenaifanku sendiri, “Tidak apa-apa,” kataku tadi padamu, “Tenang saja,” lanjutku, “Semua akan baik-baik saja,” ... Tetapi, sebenarnya, di dalam, aku jauh lebih khawatir dan jauh lebih cengeng ketimbang kamu. Aku tahu kita tak bisa menghitung segalanya, tetapi aku selalu berusaha memperhitungkan segalanya. Dan pikiran-pikiran buruk selalu menguasi imajinasiku...

Golongan darahmu O. Kamu mengkhawatirkan banyak hal. Insting menyelamatkan dirimu yang tinggi, yang seringkali menguasai emosi dan pikiranmu, selalu membuat segalanya jadi tampak ruwet dan takterpecahkan. Maka kau memilih melapangkan hatimu dengan meluapkan semuanya; Rasal kesal dan amarahmu. Dengan demikian, setelah segalanya usai, dadamu akan lapang, “Nanti kita bicarakan di rumah, ya, kita pikirkan sama-sama solusinya,” katamu optimistis. Tetapi, demikianlah, kadang-kadang kamu tak tahu bahwa apa yang sudah kaulakukan justru membuat dadaku makin sesak, pikiranku makin berat. Aku cenderung memikirkan segalanya... Kau tahu itu.

Expectation is the root of all heartache. Tiba-tiba aku ingat nasihat Shakespeare, harapan adalah akar dari semua rasa sakit hati. Kita yang kadang-kadang berlebihan mengharapkan sesuatu, cenderung dibuat patah hati. Ah, tapi mengapa nasihat semacam itu selalu kita ingat setelah kita terlanjur patah hati? 

***

Sore itu aku pulang dengan perasaan seorang lelaki yang gagal. Udara sore yang kering, suara puluhan knalpot bocor, mengerutkan dahiku lebih kusut lagi. Di perempatan jalan, aku dihentikan sebuah lampu, hitungan mundur dalam angka berwarna merah jadi tampak dramatis dan melankolis: Merah di atas hitam, segalanya masih suram dalam pikiran.

Mengapa aku harus berhenti padahal kopling dan gas kendaraan yang kunaiki ada dalam kendaliku sendiri?Ya, tentu saja, aku mempertanyakan hal-hal sesederhana itu: Golongan darahku A dengan rhesus positif. Dan, ya, aku akan menjawab pertanyaan-pertanyaanku sendiri: Tidak semua yang kita kehendaki berada dalam kendali kita sendiri, kan? Dalam hidup, ada banyak hal yang tak bisa kita atur, tak bisa kita rekayasa, dan tak bisa kita kendalikan sesuai dengan keinginan dan harapan kita.

Sementara aku masih memikirkan semuanya, asam lambungku meningkat dua kali lipat, mengubah konsentrat asam jadi gas yang membuat dadaku jadi sesak. Aku menyandarkan punggungku. Aku mematikan mesin pendingin dan membuka kaca jendela mobilku. Dari belakang, puluhan suara klakson memperburuk segalanya... Perlahan, aku berusaha memacu kendaraanku lagi.

***

Aku membuka pintu rumah kita dengan dada yang lemas. Tapi kamu tersenyum di depan pintu. 

“Masih mikirin yang tadi?” Kamu mengangkat sebelah alismu.

Aku tersenyum, tak terlalu bahagia dengan semua yang terjadi hari ini. Aku menganggukkan kepalaku, perlahan, seperti seorang lelaki dewasa bergolongan darah A. 

Kau menggelengkan kepala. Lalu berjalan mendekat ke arahku. “Sudahlah,” katamu, sambil memelukku.

Balok es melucur dari pikiran, mendinginkan perasaan. Aku menarik napas panjang. Pelukanmu menciptkan lubang-lubang baru dalam sesak dadaku. 

“Ini pertanda kita akan mendapatkan kebahagiaan yang lebih besar,” Ah, aku sudah menduga kalimat itu akan meluncur dari lidahmu; Aku tahu, golongan darahmu O dengan rhesus positif. 

Kamu tersenyum. “Tutup pintunya,” katamu lembut.

Aku mengangguk. Menarik gagang pintu di belakangku—tanpa melihatnya.

Kamu masih tersenyum, menarik lenganku dan berjalan ke tempat yang sudah kita tahu. 

“Kita tak boleh membiarkan orang-orang yang ingin meracuni dan menghancurkan hidup kita mengontrak satu ruangan di kepala kita,” katamu, “Naikkan harga sewanya! Mereka harus berusaha lebih keras lagi untuk bisa melakukannya.”

“Aku tak ingin menyewakan ruangan manapun di kepalaku untuk orang-orang yang ingin meracuni atau mengkhianatiku,” kataku, “Tetapi mereka menyelinap bagai pencuri!”

“Kita bisa mengusir mereka, kan?” Kamu tersenyum. “Sederhana.” Katamu.

Aku menganggukkan kepala, perlahan. Senyumku lebih mengembang.

Kamu mengendalikanku dan aku masih mengikuti langkah-langkah dari kaki-kaki kecilmu yang jenjang. Ah, ternyata hidup masih lapang, perjalanan masih panjang..., dan aku mencintaimu lengkap dengan segala kepribadian dan golongan darahmu.

Tangerang Selatn, 4 Februari 2013
FAHD DJIBRAN

(sumber: http://www.fahdisme.com)

0 komentar:

Post a Comment