Assalamu’alaikum Warohmatullohi Wabarakatuhu...
Bismillaahirrohmaanirrohiim
“
Barangsiapa mati sedangkan ia belum pernah berjihad, dan ia tidak
bercita-cita untuk berjihad, maka kematiannya pada salah satu cabang
kemunafikan “ ( H.R. Muslim ).
BERMIMPILAH!
Suatu hari Umar
bin Khattab melukakan dialog dengan beberapa orang di zamannya. Umar bin
Khattab berkata : “Bercita-citalah!” Maka salah seorang di antara yang
hadir berkata :” Saya berangan-angan kalau saja saya mempunyai banyak
uang ( dinar dan dirham ), lalu saya belanjakan untuk memerdekakan budak
dalam rangka meraih ridha Allah.”
Seorang lainnya menyahut :
“Kalau saya, berangan-angan memiliki banyak harta, lalu saya belanjakan
fi sabilillah.” Yang lainnya menyahut : “Kalau saya mengangankan
kekuatan tubuh yang prima lalu saya abdikan diri saya untuk memberi air
zam-zam kepada jama’ah haji satu persatu.”
Setelah Umar bin
Khattab mendengarkan mereka, ia pun berkata : “Kalau saya,
berangan-angan kalau saja di dalam rumah ini ada tokoh seperti Abu
Ubaidan bin Jarrah, Umair bin Sa’ad dan semacamnya.”
Mungkin Anda
bertanya mengapa harus bermimpi? Ternyata banyak orang-orang besar
ataupun pemimpin besar yang berangkat dari seorang pemimpi. Jadilah
pemimpi besar untuk menjadi pemimpin besar. Seorang tokoh pernah
mengatakan, seorang pemimpin harus mempunyai banyak mimpi, jika tidak
dia tidak layak menjadi pemimpin.
Kalau untuk bermimpi saja tidak
berani, maka bagaimana ia berani memimpin? Karena menjadi pemimpin
berarti menjadi orang yang cerdas. Yakni berpikir mendahului masanya,
meski kadang orang lain belum bisa memahaminya. Ia juga obsesif.
Memiliki pikiran dan gagasan besar di luar apa yang dipikirkan orang
lain.
Maka, jangan takut bermimpi!
FILOSOFI CITA – CITA…
Dalam
sebuah riwayat disebutkan bahwa “Keluhuran cita-cita adalah bagian dari
keimanan”. Karena orang yang punya cita-cita mulia, obsesi yang tinggi,
tujuan luhur, tentunya dia tidak akan menjerumuskan diri dalam
kehinaan, dari kemaksiatan, dan kemistaan. Karena itulah bermimpilah dan
bercita-citalah setingi bintang. Cita-cita besar adalah tanda kehidupan
jiwa, indikasi sukses orang-orang besar. Pintu kebahagiaan siapa saja
disebabkan oleh jiwanya selalu terbuka, berpikir dan berjiwa besar.
“Kalau
anda percaya bisa berhasil, anda akan betul-betul berhasil.” Demikian
kata D.J.Schwartz dalam bukunya The Magic of Thinking Big. “Setiap
manusia yang menghasratkan sukses atau menginginkan yang sebaik-baiknya
dari kehidupan sekarang ini. Tak ada manusia bisa mendapat kesuksesan
dari hidup yang merangkak-rangkak, kehidupan yang setengah-setengah. Tak
ada yang ingin merasa dia itu termasuk kelas dua atau terpaksa hidup
sebagai “kelas dua” ( D.J.Schwartz, 1978 )
Cita-cita besar itu
ibarat dinamo. Cita-cita besar itu ibarat dinamo yang menggerakkan arus
positif dan arus negatif yang mengontrol tubuh Anda. Cita-cita besar itu
ibarat bahan bakar. Memacu kendaraan untuk maju, melesatkan kereta
dengan cepat.
Cita-cita besar itu adalah pintu. Pintu
kebahagiaan, pintu kesuksesan, pintu kesempurnaan. “Dan katakanlah:”Ya
Tuhan-ku, masukkanlah aku secara masuk yang benar dan keluarkanlah (
pula ) aku secara keluar yang benar dan berikanlah kepadaku dari sisi
engkau kekuasaan yang menolong.” ( Al-Isra’:80 )
Cita-cita besar itu merupakan obat. Obat penghilang kelemahan, penghilang kemalasan, penghilang kesedihan, penghilang kehinaan.
Cita-cita
ciri kemuliaan. Orang mulia adalah orang yang memiliki cita-cita.
Karena cita-cita akan membangun pendirian yang kokoh, tidak gentar
menghadapi masalah, tidak jera menghadapi kegagalan. Sedangkan orang
yang tidak memiliki cita-cita akan menjadi pengecut, penakut dan
pecundang. Diantara manifestasi cita nan mulia adalah membangun
keluhuran jiwa dan menjauhkan diri dari posisi tertuduh.
Begitu
banyak dan begitu penting untuk menjadi besar dengan cita-cita besar.
Tapi jangan sekali-kali merasa besar. Karena merasa besar akan
menumbuhkan penyakit jiwa, menyebabkan sengsara dan pembawa derita.
Sedang menjadi besar membawa bahagia.
JANGAN TAKUT PUNYA CITA-CITA
Kadang
kita takut punya cita-cita, karena takut untuk mencapainya. Padahal
cita-cita merupakan energi yang akan menggerakkan jiwa, menggerakkan
pikiran untuk kreatif, menggerakkan badan untuk aktif, menggerakkan
seluruh tubuh mencapai tujuan. Cita-cita adalah ruh yang menjadikan
seseorang tetap bertahan. Seperti Imam Ahmad yang tegar di tengah
cambukan tanpa menggeserkan sedikitpun keimanan dan keyakinan yang
tertanam. Cita-cita pula yang menghadirkan cinta dan kasih sayang ibu
terhadap anaknya, melumurinya dengan doa, menghiasinya dengan tarbiyah.
Seperti pengorbanan Ibunda Imam Syafi’I yang mengorbankan seluruh
hartanya dan menginfakkan waktunya untuk melahirkan ulama besar,
referensi peradaban Islam.
BERCITA-CITA ITU SEPARUH KESUKSESAN
Kesuksesan
tidak semata-mata diukur pada hasil tapi juga pada proses. Proses
merencanakan dengan tujuan yang benar dan mulia. Proses
mengorganisasikan dengan rapi dan sistematis. Proses melaksanakan dengan
ikhlas, tekun, teliti dan professional. Dan proses evaluasi dengan
jujur dan semangat perbaikan tak kenal henti. Dan cita-cita adalah
separuh dari kesuksesan. Karena orang yang bercita mulia tak modah goyah
untuk menggadaikan di tengah jalan, menukar dengan yang hina dan
rendah.
Memiliki cita-cita berarti memiliki tujuan hidup yang
jelas. Memiliki kejelasan tujuan adalah separuh dari kesuksesan. Adapun
yang separuh itu adalah bagaimana kita menempuhnya. Oleh karena itu,
persiapkan cita-citamu sejak sekarang. Karena orang yang cerdas, yang
punya cita-cita jelas adalah orang yang selalu mengoreksi dirinya dan
beramal untuk bekal sesudah mati. Sedangkan orang yang bodoh adalah
orang yang mengikuti hawa nafsunya dan hanya berangan-angan kosong.
CITA-CITA DUNIA
Hari
ini harus lebih baik dari hari kemarin. Ibrahim Al Harbi, yang berguru
pada Imam Ahmad mengatakan,”Aku telah menyertai Imam Ahmad bin Hambal
selama dua puluh tahun. Saat musim dingin atau musim panas, siang atau
malam, tak pernah aku dapati kecuali ia lebih baik dari sebelumnya.” (
Manaqib Ibnu Hambal, Ibnul Jauzy )
Salah bentuk ungkapan
cita-cita adalah doa. Kita kaum Muslimin punya sebuah doa yang sangat
populer, yakni Rabbana aatina fiddun-ya hasanah wa fil akhirati hasanah
waqinaa 'adzaban naar. Ya Allah! Berikanlah kami kebahagiaan di dunia
dan berikan pula kebaikan di akhirat dan jauhkanlah kami dari siksa api
neraka.” ( Al-baqarah:201 )
Doa itu adalah wajah cita-cita kita.
Namun sudahkah kita menghayati cita-cita kita itu? Lalu tahukah kita apa
sebenarnya yang kita citakan? Seperti doa di atas. Kalau kebahagiaan
akhirat rata-rata sudah jelas yakni surga dan segala kenikmatannya. Tapi
apa makna kebahagian dunia?
CITA-CITA AKHIRAT
Bila Anda telah
memiliki cita-cita dunia. Maka mari selanjutnya kita meraih cita-cita
akhirat. Bagaimana tidak, sedangkan kita semua pasti akan mati. Dan yang
terpenting adalah bagaimana kita mati dan mempersiapkan diri menghadapi
kematian. Sebab, rasa mati itu sama, tapi sebabnya beragam, nilainya
berbeda. Ada yang syahid karena taat, ada yang “sangit” karena gosong
dalam bermaksiat. Ada yang mulia karena taqwa dan banyak yang hina
karena angkara.
Cita-cita akhirat inilah puncak kita untuk
beristirahat. Seperti kata Imam Ahmad saat ditanya kapan seorang mukmin
beristirahat? “ saat ia menginjakkan kakinya di surga” Jawab beliau.
Lalu apa cita-cita akhirat yang bisa kita rintis? Berikut beberapa contoh obsesi yang mestinya kita miliki :
1.Proses meninggal tanpa sakratul maut yang membebani diri dan orang lain.
2.Tidak meinggal duni pada saat kejadian hari kiamat yang dahsyat.
3.Meninggal dunia saat berjihad di jalan Allah di medan pertempuran seperti yang dicita-citakan Khalid bin Walid.
4.Meninggal dunia saat melakukan amal-amal sholeh dan amal unggulan yang dirintisnya.
5.Meningal dunia tanpa memiliki hutang-hutang sehingga tidak memberatkan perhitungan di yaumil hisab.
6.Mendapatkan
rahmat Allah di alam kubur seperti orang-orang yang gemar menghafal
al-Qur'an, memberikan penerangan jalan dan banyak memakmurkan masjid
Allah.
7.Mendapatkan syafa'at di padang mahsyar. Renungkan tentang
tujuh golongan yang dinaungi Allah di hari kiamat, apakah kita masuk
salah satunya.
8.Dimudahkan saat pengadilan akhir nanti.
9.Dimudahkan saat melewati shiratal mustaqim.
10.Ada keringanan siksa neraka.
11.Tidak terlalu lama berada di neraka.
12.Mendapatkan ampunan yang banyak atas berbagai dosa dan kesalahan.
13.Dapat berkumpul dengan keluarga di surga.
14.Bertemu lebih dekat dengan orang-orang sholeh.
15.Bertemu dengan Rasulullah dan orang-orang yang kita kagumi, yang belum sempat bertemu.
16.Melihat Wajah Allah di surga.
FOKUSKAN DIRI UNTUK MERAIH CITA
Kita
mesti memiliki prioritas dan fokus dalam hidup kita. Fokuskan pada
kekuatan, pada apa yang kita miliki untuk mampu mendahsyatkan potensi
meraih prestasi. Seperti kaca pembesar yang mengumpulkan sinar pada satu
titik untuk dapat membakar.
Mengapa fokus penting? Karena setiap
kita memiliki kekhasan masing-masing. Contohnya Hasan bin Tsabit ia tak
pandai melantunkan adzan, karena ia bukan Bilal. Khalid bin Walid tidak
pintar membagi warisan karena ia memang bukan Zaid bin Tsabit yang
pakar di bidang faraidh. Imam Sibawaih yang pakar Nahwu merasa gundah
saat belajar ilmu hadits karena ia bukan Imam Bukhari yang siap
berhari-hari menempuh perjalanan panjang demi mendapat hadits untuk
diseleksi.
Kita mesti menyadari bahwa setiap kita memiliki
keterbatasan-keterbatasan. Namun, di balik keterbatasan itulah tersimpan
kelebihan. Bila kita berpikir positif, sesungguhnya dengan keterbatasan
itulah seseorang bisa “bersyukur” untuk meledakkanya menjadi
keluarbiasaan.
Kuncinya adalah selalu bersyukur sehingga selalu
fokus pada apa yang dimiliki. Menikmati apa yang ada, bukan meratapi apa
yang tiada atau hilang dari genggaman tangan kita. Kita tak selalu bisa
mendapatkan apa yang kita inginkan, namun sesungguhnya kita dapat
menikmati apa yang kita miliki. Karenanya fokuskan pada apa yang ada,
jangan risau pada yang tiada. Bersyukurlah. (Al Bashirah Edisi 05 Tahun
II Rubrik Tanmiyah)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 komentar:
Post a Comment